Namaku Luntung,
seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta ternama di Jogja. Aku mempunyai
saudara kembar, tetapi tidak identik. Saudara kembarku bernama Luntang, dan dia
berkuliah di tempat yang sama denganku saat ini.
Sebelum kuliah
di Jogja, Luntang sempat kuliah di Jakarta. Di sana, dia mempunyai seorang
pacar bernama Windy. Setelah setahun kuliah, Luntang dan pacarnya ini tidak betah,
sehingga mereka pindah kuliah di Jogja.
Ketika pertama kali aku bertemu Windy, aku terpana dengan parasnya yang cantik
dan bodynya yang aduhay. Aku merasa Luntang sangat beruntung mendapatkan pacar
seorang gadis cantik seperti Windy. Memang, Luntang bercerita bahwa Windy
merupakan rebutan cowok-cowok di kampusnya dulu. Ketika bersalaman dengannya, aku
tidak dapat melepaskan pandangan dari wajahnya yang sangat cantik dan imut itu.
Setelah perkenalan pertama dengan Windy, sosoknya selalu terbayang dalam benakku.
Apalagi, sekarang Windy sering main ke rumah (o iya, aku dan Luntang tinggal
berdua di sebuah rumah di Jogja). Setiap Windy datang ke rumah, aku pasti
merasa deg-degan. Seakan-akan Windy adalah pacarku sendiri (apa karena Luntang
dan aku kembar, jadi aku merasakan hal ini ya?). Kadang-kadang, Luntang dan
Windy suka berduaan di kamar Luntang, dan aku sering mendengar mereka cekikikan
berdua di kamar. Aku jadi merasa iri dengan Luntang. Aku belum pernah punya
pacar sejak dulu. Memang dibanding Luntang, aku anaknya lebih pendiam dan tidak
peduli dengan suatu hubungan seperti itu.
Suatu kali, Luntang sedang pergi keluar kota bersama teman-temannya untuk
beberapa minggu (hampir sebulan kalau tidak salah). Windy tetap di Jogja,
karena dia mengambil semester pendek. Aku sempat merasa agak kesepian juga di
rumah, karena aku hanya sendirian saja. Apalagi kalau Luntang tidak di sini,
berarti Windy juga nggak akan datang ke rumah aku kan?
Nah, pada suatu siang di rumah, tiba-tiba aku seperti mendengar suara motor
Windy dari kejauhan. “Ah, aku pasti terlalu merindukan kehadiran Windy”,
pikirku, sampai suara motor lewat pun aku sangka suara motor Windy.
Eh, ternyata suara motor itu memang menuju ke rumahku, and guess what, itu
memang Windy! Dia mengenakan kaos ketat berwarna oranye-biru, dan celana jeans
ngatung yang juga ketat. Sunggu menggairahkan sekali penampilannya saat itu. Aku
gembira campur bingung, kenapa Windy datang ke sini, padahal Luntang kan lagi
pergi?
“Halo Luntung.. Sendirian aja ya di rumah? Kasian, ditinggal Luntang sendirian.
Pasti sepi ya?”, kata Windy sambil menuntun motornya masuk.
“Iya nih Win, sendirian terus tiap hari. Kamu tumben dateng ke sini? Ada angin
apa Win?”
“Ini No, aku mau ngambil catetanku yang dulu dipinjem Luntang. Soalnya ada
perlu buat semester pendek.”
“Ooo.. kalo gitu masuk aja Win. Aku kurang tau di mana Luntang nyimpen
catetanmu. Liat aja di kamarnya.”, jawabku lagi.
Windy pun masuk ke kamar Luntang dan mencari catetannya di laci meja komputer Luntang.
Sepertinya dia memang sudah tau kalau Luntang menyimpannya di sana. Untuk
membuka laci itu, dia mesti agak membungkuk. Ketika membungkuk, bagian belakang
baju kaosnya agak terangkat, dan tampaklah olehku punggungnya yang putih mulus.
Wahh.. walaupun hanya sedikit yang tampak, tapi itu sudah membuat pikiranku
melayang dan otomatis penisku pun ikut berdiri.
“Udah dapet nih No, catetannya.”, kata Windy kepadaku.
“Oh, di sana ternyata dia simpen ya? Oke deh. Itu aja yang perlu Win?”, kataku
dengan agak sedikit kecewa, karena kalau memang hanya itu tujuan dia ke sini,
berarti dia udah mau balik dong..?
“Iya, ini aja. Aku pulang dulu deh ya No.”
Yaahh.., sebentar banget aku sempat ketemu dengan Windy, pikirku.:((Kemudian
Windy keluar menuju motornya. Di depan motornya aku melihat dia menggantungkan
sebuah tas yang agak besar.
“Bawa apaan tuh Win?”, tanyaku sama Windy.
“Oh, ini? Sebenarnya setelah ini aku bukan mau pulang sih. Aku rencananya mau
ke tempat temenku. Numpang mandi. Abis, air di kosku lagi habis. Sumurnya
kering No. Wah, jadi ketauan deh kalo aku belum mandi nih.. Jadi malu..”, kata
Windy dengan agak malu-malu.
Wah.., kesempatan nih!
“Kenapa nggak mandi di sini aja Win? Airnya banyak kok di sini. Daripada
repot-repot ke tempat temenmu lagi. Gimana? Mau?”, cecarku dengan penuh
semangat (campur nafsu:)
“Mmm.., nggak apa-apa nih No?”, tanya Windy agak ragu.
“Nggak apa-apa kok. Bener. Suwer. Samber geledek.”, jawabku dengan sedikit
bercanda.
“Ya oke deh kalo gitu. Aku numpang mandi ya..”
Yess.. Akhirnya aku punya kesempatan untuk bersama Windy lebih lama lagi..
Windy langsung masuk lagi menuju kamar mandi. Aku hanya dapat membayangkan apa
yang terjadi di dalam kamar mandi itu. Aku membayangkan Windy membuka baju
ketatnya, dan melepaskan celana jeansnya. Aku membayangkan bagaimana tubuh
seksi Windy hanya berbalutkan BH dan celana dalam saja. Hhhmm.. penisku
langsung tegang dengan sendirinya tanpa perlu kusentuh. Sedang enak-enak
melamun, tiba-tiba pintu kamar mandi Windy terbuka. Oh, ternyata Windy masih
mengenakan pakaiannya, tidak seperti dalam bayanganku.
“Luntung, aku bisa pinjem handuk nggak? Aku lupa bawa nih. Sori ya ngerepotin.”
“Oh, nggak apa-apa. Ntar ku ambilin.”
Ketika aku memberikan handukku kepada Windy, terlihat tali BH Windy yang
berwarna hitam di bahunya. Walaupun itu hanya seutas tali BH di bahu, tapi itu
sudah cukup untuk membuatku berimajinasi yang bukan-bukan tentang Windy.
“Makasih ya Lun..”, wah, suaranya benar-benar bisa membuatku terbang ke langit
ketujuh..
“eh, iya..”, jawabku.
Lalu Windy masuk kembali ke kamar mandi. Tak lama kemudian sudah terdengar
suara cebyar-cebyur air. Aku tak dapat berhenti membayangkan tubuh Windy yang
telanjang.. Kulitnya pasti mulus..., putih..., dan badannya sangat seksi
sekali.. mmhh.. aku tak kuasa untuk menahan nafsuku... Aku masuk ke kamar, dan
masuk ke kamar mandiku (letaknya tepat di sebelah kamar mandi tamu tempat Windy
mandi).
Di dalam kamar mandi, aku langsung melepaskan seluruh pakaianku dan menikmati
tante rosa (tangan tengen ro sabun).
Aku memegang penisku yang sudah sangat tegang (rasanya belum pernah “dia”
sebesar ini. Bayangan akan Windy benar-benar telah membuatnya sangat keras).
Dengan sedikit sabun, aku mulai meremas-remas penisku, dan pelan-pelan mulai
mengocoknya maju-mundur... mm... aku membayangkan ini adalah tangan Windy yang
mengocok penisku… oohh Windy… andaikan kamu mau mandi bersamaku di sini… hhmm…
Imajinasiku telah melayang ke mana-mana. Sedang asyik-asyiknya onani, tiba-tiba
pintu kamar mandiku diketuk dari luar.
“Luntung… Kamu lagi mandi ya? Sori mengganggu lagi. Kamu ada sabun cuci muka
nggak? Aku lupa bawa tadi...”, terdengar suara Windy memanggil.
Aku kaget! Wah, mana udah mau klimaks, eh Windy ngetuk pintu. Buyar deh imajinasiku
yang sudah kubangun dari tadi. Wah, pasti Windy sudah pakai baju lengkap lagi
seperti tadi, tidak telanjang seperti dalam bayanganku. Tapi nggak apa-apa deh,
kan aku bisa ngeliat Windy lagi jadinya. Aku lingkarkan handuk di pinggangku
untuk menutupi penisku yang tegang, lalu aku ambilkan sabun cuci mukaku untuk
Windy.
“Ini Win, sabun cuci mukanya”, kataku sambil membuka pintu.
Wahh… ternyata Windy hanya mengenakan handukku yang kuberikan tadi, bukannya
berpakaian lengkap! Rejeki lagi nih! Dengan balutan handukku yang tidak terlalu
lebar itu, tampak kulitnya yang benar-benar putih mulus. Handukku hanya
menutupi dari dadanya sampai sekitar 15 cm di atas lututnya. Tampak olehku
pahanya yang begitu indah. Rambutnya yang basah juga memberi efek yang
membuatnya semakin kelihatan seksi. Tanpa bisa dibendung, penisku menjadi
semakin tegang lagi!
“Makasih Lun… Wah, bener-bener sori ya, jadi ngeganggu mandimu...”, kata Windy
lagi.
“Ehm..., nggak apa-apa kok Win.”, jawabku terbata-bata karena nggak kuat
menahan nafsuku.
Tanpa kusadari, penisku semakin menyembul dan membuat handukku hampir copot.
Jarakku dengan Windy waktu itu sangat dekat, sehingga penisku yang sudah
berdiri itu menyentuh bagian perut Windy (penisku dan perut Windy sama-sama
masih tertutupi handuk). Windy kaget, karena ada sesuatu yang menekan perutnya.
“Eh, aku mandi lagi ya No.”, kata Windy buru-buru dengan muka yang memerah.
Sepertinya dia malu campur bingung.
“Mmm, iya…, aku juga mau mandi lagi”, jawabku juga dengan penuh malu.
Windypun kembali ke kamar mandinya, dan aku juga masuk lagi ke kamar mandiku.
Di dalam kamar mandi aku berpikir, apa kira-kira tanggapan Windy atas kejadian
tadi ya? Apa dia akan lapor ke Luntang kalau aku berbuat kurang ajar? Apa dia
marah sama aku? Atau apa? Aku jadi takut.. Setelah termenung beberapa menit,
akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan apa yang kukerjakan tadi. Masalah
nanti ya urusan belakangan. Baru saja aku mau mulai untuk onani lagi, pintu
kamar mandiku diketuk lagi.
“Luntung…, sori mengganggu lagi. Aku ada perlu lagi nih”, kata Windy dari luar.
“oh iya, bentar…”
Sekarang aku pakai CD dan celana pendekku. Aku nggak mau terulang lagi kejadian
memalukan tadi. Aku keluar dari kamar mandi.
“Ada apa Win? Apa lagi yang ketinggalan? Mau pinjem CD?”, candaku pada Windy.
“Ah, kamu ada-ada aja.”, kata Windy sambil tertawa. Hhh…, manis sekali
senyumannya itu..
Btw, dia masih mengenakan handuk seperti tadi. Seksi…!
“Gini Lun... Waktu aku minjem sabun cuci muka tadi, aku tau kalo kamu sempat..
mm… apa ya istilahnya? Terangsang?”, kata Windy.
“Hah? Apa? Maksudnya gimana? Aku nggak ngerti?”, tanyaku pura-pura bego.
“Nggak apa-apa kok No. Nggak usah malu. Kuakui, aku tadi juga sempat
membayangkan ‘itu’ mu waktu aku masuk kamar mandi lagi. Aku bahkan hampir saja
mau... mm… masturbasi sambil mbayangin kamu. Tapi kupikir, ngapain pake tangan
sendiri, kalo ‘barang’nya ada di sebelah? hehe”, jawab Windy.
“Hhhaahh? Apa maksudmu Win? Aku jadi makin bingung? Aku nggak”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Windy sudah meraba penisku dari luar
celana pendekku.
“Ini yang kumaksud, Luntung! Burungmu yang tegang ini! Aku menginginkannya!”,
kata Windy sambil terus meraba-raba dan meremas penisku.
“hhmm…, Win… kamu...”
“Luntung... Walaupun aku pacarnya Luntang, kamu nggak usah malu begitu. Sejak
bertemu denganmu di Jogja ini, aku selalu membayangkanmu dalam setiap fantasi
seksku. Bukannya aku nggak cinta Luntang. Tapi dengan membayangkan sesuatu yang
‘tabu’, biasanya aku selalu menjadi begitu terangsang, dan selalu kuakhiri
dengan masturbasi sambil membayangkan bercinta dengan saudara kembar pacarku
sendiri.
Luntung... saat ini sudah lama kutunggu-tunggu. Aku selalu membayangkan
bagaimana rasanya mengulum burungmu dalam mulutku. Bagaimana rasanya memainkan
burungmu dalam vaginaku... hhmm... You’re always on my fantasy, Luntung...”,
cerocos Windy sambil semakin kuat meremas penisku (masih dari luar celana
pendekku).
“Ohh.., oohhmm.., Windy.. Aku.., juga.. selalu membayangkanmu dalam setiap
onaniku.
Aku nggak tahan melihat kecantikan dan keseksianmu, sejak pertama kali aku
bertemu denganmu. Aku cemburu dengan Luntang. Aku selalu membayangkan tubuhmu
yang putih, halus, lembut, dan seksi ini.. Aku menginginkanmu Windy..”, jawabku
sambil meraba bahu dan tangannya yang begitu halus dan lembut.
Kemudian tanpa berpikir lagi, kuraih rambutnya dan kutarik mukanya ke mukaku, lalu
kucium Windy dengan buas. Kulumat bibirnya yang merah dan mungil itu. Inilah
pengalaman pertamaku mencium wanita. Rasanya benar-benar nikmat sekali. Apalagi
tangannya masih terus meremas penisku yang sudah berdenyut-denyut dari tadi.
“Hmmpp…, mmhhmmhh…”, Windy juga membalas ciumanku dengan lumatan bibirnya dan
lidahnya bermain-main di dalam mulutku.
Aku terus menghisap bibir dan lidahnya, dan tanganku mulai meraba payudaranya
yang masih tertutup handuk. Payudaranya cukup besar. Belakangan kuketahui
ukurannya 34B. Terasa putingnya yang mengeras dari balik handuk.
“Ohh…Luntung…remas susuku! Remas, Luntung... Ohhmmhh...”,
Desahan Windy
di telingaku, semakin membuatku bernafsu… Tanpa pikir panjang, langsung
kulepaskan handuk Windy, sehingga tampaklah di depan mataku keindahan tubuh
telanjang Windy yang selama ini hanya ada dalam fantasiku.
“Windy… kamu sunguh-sungguh cantik... Aku menginginkanmu…”.
Aku pun langsung menerkamnya dan tanpa membuang waktu langsung kuhisap
payudaranya yang bulat dan padat itu. Sebelumnya aku hanya dapat membayangkan
betapa indahnya payudara Windy yang sering mengenakan kaos ketat itu. Bahkan
pernah sekali dia mengenakan kaos ketat tanpa BH, sehingga tampak samar-samar
putingnya yang merah olehku waktu itu.
“Luntung... Mmmhhmm… Kamu benar-benar hebat Luntung... Bahkan Luntang tidak
pernah bisa membuatku jadi gila seperti ini... Ooohh… hisap putingku Luntung.
Jilat… Ahh…” jerit Windy yang sudah benar-benar penuh nafsu birahi itu.
Aku terus menjilati dan menghisap payudaranya, dan sekali-sekali kugigit karena
gemas, sehingga payudaranya menjadi merah-merah. Tapi Windy tidak marah, malah
sepertinya ia sangat menikmati permainan mulutku.
Bosan bersikap pasif, Windy pun melepaskan celana pendekku dengan penuh nafsu,
sehingga tampaklah olehnya penisku yang sudah berdiri tegak hingga keluar dari
pinggang celana dalamku.
“Besar sekali burungmu Luntung! Wow.... Lebih besar dari pacarku yang dulu.
Bahkan lebih besar dari punya Luntang! Kukira punya sudah yang terbesar yang
ada!”, puji Windy dengan mata berbinar ketika melihat penisku.
Windy menarik CDku hingga lepas, berlutut di depan penisku dan langsung
menjilati telorku yang penuh bulu itu.
“Aahhmm... enak sekali Windy...! mmhhmm... Kamu memang hebat sekali...”,
aku meracau kenikmatan sambil terus membelai rambutnya yang indah.
“oohhmm... aku suka sekali burungmu Luntung.. besar, panjang, dan hitam...
oohhoohhmm...”,
Windy memasukkan penisku ke mulutnya yang mungil, dan menghisapnya dengan kuat.
“Ahh..., Windy... AAhhmmhh...”, aku benar-benar dalam puncak kenikmatan yang
belum pernah kurasakan sebelumnya. Kenikmatan onani hanyalah sepersekian dari
kenikmatan dihisap dan dijilat oleh mulut dan lidah Windy yang sedang mengulum
penisku ini.
Windy dangan penuh semangat terus menghisap penisku, dan karena ia memaju
mundurkan kepala dan badannya dengan kencang, tampak olehku payudaranya
bergoyang-goyang kesana kemari.
Ketika aku hampir mencapai klimaks, langsung kutarik penisku dari mulutnya, dan
kupeluk Windy erat-erat sambil menjilati dan menciumi seluruh mukanya. Mulai
dari keningnya, matanya, hidungnya yang mancung, pipinya, telinganya, lehernya,
dagunya, dan kuteruskan ke bawah sampai akhirnya seluruh tubuhnya basah oleh
air liurku dan di beberapa tempat bahkan sampai merah-merah karena hisapan dan
gigitan gemasku. Windy benar-benar menikmati perlakuanku terhadap tubuhnya,
terutama ketika aku menjilati dan menghisap daun telinganya. Dia benar-benar
merinding ketika itu.
“oohh Luntung…, kamu hebat sekali.. Belum pernah ada sebelumnya yang bisa
membuatku orgasme tanpa perlu menyentuh vaginaku. Ohhmm… you’re the greatest...!”, kata Windy lagi. Setelah beristirahat
sejenak, aku mulai menjilati vagina Windy.
“Luntungohh… nikmat sekali... kamu hebat sekali memainkan lidahmu... mmhhmm...
aahhgghh…”, Windy benar-benar menikmati permainan lidahku yang mengobok-obok
vaginanya dengan buas.
“Windy..., boleh aku memasukkan penisku ke dalam” belum selesai kata-kataku,
Windy langsung memotong.
“Nggak usah minta ijin segala, masukin burungmu yang gede itu ke vaginaku
cepat, Luntung!”, potong Windy sambil memegang penisku dan mengarahkannya ke
lobang vaginanya.
“Ahh.. sempit sekali Windy.. Mmmgghh..”, vaginanya benar-benar menjepit penisku
dengan kencang sekali, sehingga sensasi yang kurasakan menjadi benar-benar tak
terlukiskan dengan kata-kata. Pokoknya enak banget!!
“Ooohh Luntung.. burungmu besar sekali!! HHhhmmhh.. aahh.. nikmat sekali Luntung!”
Perlahan-lahan, aku pun mulai menggoyangkan pantatku sehingga penisku yang gede
dan hitam mulai mengocok-ngocok vaginanya. Windy pun juga menggoyangkan
pantatnya yang putih mulus itu sehingga makin lama goyangan kami menjadi
semakin cepat dan buas.
“Luntungahh... hh... hh... hh... aku suka burungmu! mmhh… lebih cepat, cepat…
keras… aku... hhoohhmmhh...”, racauan Windy makin lama makin tidak jelas.
“Aku hhaammpir keluuaar... Winddyy... hhmmhh...”, campuran antara goyangan,
desahan, dan tampang Windy yang benar-benar seksi dan penuh keringat itu sangat
merangsangku sehingga membuatku nggak tahan lagi.
“Keluarkan di dalam saja, Luntung... Aku jugaa… mauu… sampai... hh...”.
“AAHHMMHH... AARRGGHH... OOHHMMHH… NIKMAAT SEKAALLII... AAHHMMHH…!!” kami
berdua mencapai klimaks pada saat yang bersamaan.
Setelah permainan yang dahsyat itu, kami sama-sama terlelap di kamarku.
Sewaktu terbangun ternyata hari sudah malam. Windy langsung pulang karena takut
kos-kosannya sudah dikunci kalau kemalaman. Tapi kami berjanji untuk bertemu
lagi esok hari, karena kami berdua masih ingin melanjutkan hubungan yang “tabu”
ini. Kami sama-sama menikmatinya. Hehehe…